A. WAWASAN NUSANTARA
1.
WAWASAN NASIONAL
Wawasan
Nasional, yang di Indonesia disebut sebagai Wawasan Nusantara, pada dasarnya
merupakan cara pandang terhadap bangsa sendiri. Kata “wawasan” berasal dari
kata “wawas” yang bearti melihat atau memandang (S. Sumarsono, 2005).
Setiap
Negara perlu memiliki wawasan nasional dalam usaha menyelenggarakan
kehidupannya. Wawasan itu pada umumnya berkaitan dengan cara pandang tentang
hakikat sebuah Negara yang memiliki kedaulatan atas wilayahnya. Fokus
pembicaraan pada unsur kekuasaan dan kewilayahan disebut “geopolitik”.
Dalam
konteks teori, telah berkembang beberapa pandangan geopolitik seperti
dilontarkan oleh beberapa pemikir di bawah ini dalam S. Sumarsono (2005, hal
59-60)
Ø Pandangan/ajaran
Frederich Ratzel
F Negara
merupakan sebuah organisme yang hidup dalam suatu ruang lingkup tertentu,
bertumbuh sampai akhirnya menyusut dan mati.
F Negara
adalah suatu kelompok politik yang hidup dalam suatu ruang tertentu.
F Dalam
usaha mempertahankan kelangsungan hidupnya sebuah bangsa tidak bisa lepas dari
alam dan hukum alam.
F Semakin
tinggi budaya suatu bangsa maka semakin besar kebutuhannya akan sumber daya
alam.
Ø Pandangan/ajaran
Rudolf Kjellen
F Negara
merupakan suatu organisme biologis yang memiliki kekuatan intelektual yang
membutuhkan ruang untuk bisa berkembang bebas.
F Negara
merupakan suatu sisem politik (pemerintahan)
F Negara
dapat hidup tanpa harus bergantung pada sumber pembekalan dari luar. Ia dapat
berswasembada dan memanfaatkan kemajuan kebudayaan dan teknologinya sendiri
untuk membangun kekuatannya sendiri.
B. LATAR BELAKANG FILOSOFIS WAWASAN NUSANTARA
Wawasan
Nusantara merupakan sebuah cara pandang geopolitik Indonesia yang bertolak dari
latar belakang pemikiran sebagai berikut ((S. Sumarsono, 2005)
Ø Latar
belakang pemikiran filsafat Pancasila
Ø Latar
belakang pemikiran aspek kewilayahan Indonesia
Ø Latar
belakang pemikiran aspek sosial budaya Indonesia
Ø Latar
belakang pemikiran aspek kesejarahan Indonesia
Latar
belakang pemikiran filsafat Pancasila menjadikan Pancasila sebagai dasar
pengembangan Wawasan Nusantara tersebut. Setiap sila dari Pancasila menjadi
dasar dari pengembangan wawasan itu.
F Sila
1 (Ketuhanan yang Mahaesa) menjadikan Wawasan Nusantara merupakan wawasan yang
menghormati kebebasan beragama
F Sila
2 (Kemanusiaan yang Adil dan Beradab) menjadikan Wawasan Nusantara merupakan
wawasan yang menghormati dan menerapkan HAM (Hak Asasi Manusia)
F Sila
3 (Persatuan Indonesia) menjadikan Wawasan Nusantara merupakan wawasan yang
mengutamakan kepentingan bangsa dan negara.
F Sila
4 (Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan) menjadikan Wawasan Nusantara merupakan wawasan yang
dikembangkan dalam suasana musyawarah dan mufakat.
F Sila
5 (Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia) menjadikan Wawasan Nusantara
merupakan wawasan yang mengusahakan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.
Latar
belakang pemikiran aspek kewilayahan Indonesia menjadikan wilayah Indonesia
sebagai dasar pengembangan wawasan itu. Dalam hal ini kondisi obyektif
geografis Indonesia menjadi modal pembentukan suatu negara dan menjadi dasar
bagi pengambilan-pengambilan keputusan politik. Adapun kondiri obyektif
geografi Indonesia telah mengalami perkembangan sebagai berikut:
Ø Saat
RI merdeka (17 Agustus 1945), kita masih mengikuti aturan dalam Territoriale
Zee En Maritime Kringen Ordonantie tahun 1939 di mana lebar laut wilayah
Indonesia adalah 3 mil diukur dari garis air rendah dari masing-masing pantai
pulau Indonesia.
F Dengan
aturan itu maka wilayah Indonesia bukan merupakan kesatuan
F Laut
menjadi pemisah-pemecah wilayah karena Indonesia merupakan negara kepulauan
Ø Indonesia
kemudian mengeluarkan Deklarasi Djuanda (13 Desember 1957) berbunyi: ”…berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan maka pemerintah menyatakan bahwa segala perairan di
sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk negara
Indonesia dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang
wajar daripada wilayah daratan negara Indonesia, dan dengan demikian bagian
daripada perairan pedalaman atau nasional berada di bawah kedaulatan mutlak
negara Indonesia. Lalu lintas yang damai di perairan pedalaman in bagi
kapal-kapal asing dijamin selama dan sekedar tidak bertentangan
dengan/mengganggu kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia. Penentuan batas
lautan teritorial (yang lebarnya 12 mil) diukur dari garis yang menghubungkan
titik-titik ujung yang terluar pada pulau-pulau negara Indonesia….”
F Jadi,
pulau-pulau dan laut di wilayah Indonesia merupakan satu wilayah yang utuh,
kesatuan yang bulat dan utuh.
Ø Indonesia
kemudian mengeluarkan UU No 4/Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia yang
berisi konsep kewilayahan Indonesia menurut Deklarasi Djuanda itu
F Maka
Indonesia mempunyai konsep tentang Negara Kepulauan (Negara Maritim)
F Dampaknya:
jika dulu menurut Territoriale Zee En Maritime Kringen Ordonantie tahun 1939
luas Indonesia adalah kurang lebih 2 juta km2 maka menurut Deklarasi Djuanda
dan UU No 4/prp Tahun 1960 luasnya menjadi 5 juta km2 (dimana 65% wilayahnya
terdiri dari laut/perairan)
Ø Pada
1982, Konferensi PBB tentang Hukum Laut Internasional III mengakui pokok-pokok
asas Negara Kepulauan (seperti yang digagas menurut Deklarasi Djuanda)
F Asas
Negara Kepulauan itu diakui dan dicantumkan dalam UNCLOS 1982 (United Nation
Convention on the Law af the Sea)
F Dampak
dari UNCLOS 1982 adalah pengakuan tentang bertambah luasnya ZEE (Zona Ekonomi
Eksklusif) dan Landas Kontinen Indonesia
Ø Indonesia
kemudian meratifikasi UNCLOS 1982 melalui UU No 17 Tahun 1985 (tanggal 31
Desember 1985)
Ø Sejak
16 November 1993 UNCLOS 1982 telah diratifikasi oleh 60 negara dan menjadi
hukum positif sejak 16 November 1994.
Ø Perjuangan
selanjutnya adalah perjuangan untuk wilayah antariksa nasional, termasuk GSO
(Geo Stationery Orbit)
Ø Jadi
wilayah Indonesia adalah (Prof. Dr. Priyatna dalam S. Sumarsono, 2005, hal 74)
F Wilayah
territorial 12 mil dari Garis Pangkal Laut
F Wilayah
ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) 200 mil dari Pangkal Laut
F Wilayah
ke dalam perut bumi sedalam 40.000 km
F Wilayah
udara nasional Indonesia setinggi 110 km
F Batas
antariksa Indonesia
·
Tinggi = 33.761 km
·
Tebal GSO (Geo Stationery Orbit) = 350 km
·
Lebar GSO (Geo Stationery Orbit) = 150 km
Latar
belakang pemikiran aspek sosial budaya Indonesia menjadikan keanekaragaman
budaya Indonesia menjadi bahan untuk memandang (membangun wawasan) nusantara
Indonesia. Menurut Hildred Geertz sebagaimana dikutip Nasikun (1988), Indonesia
mempunyai lebih dari 300 suku bangsa dari Sabang sampai Merauke. Adapun menurut
Skinner yang juga dikutip Nasikun (1988) Indonesia mempunyai 35 suku bangsa
besar yang masing-masing mempunyai sub-sub suku/etnis yang banyak.
Latar
belakang pemikiran aspek kesejarahan Indonesia menunjuk pada sejarah
perkembangan Indonesia sebagai bangsa dan negara di mana tonggak-tonggak
sejarahnya adalah:
Ø 20
Mei 1908 = Kebangkitan Nasional Indonesia
Ø 28
Okotber 1928 = Kebangkitan Wawasan Kebangsaan melalui Sumpah Pemuda
Ø 17
Agustus 1945 = Kemerdekaa Republik Indonesia
2.
PENGERTIAN WAWASAN NUSANTARA
Pengertian
Wawasan Nusantara adalah sebagai berikut
Ø Menurut
GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara) yang ditetapkan MPR (Majelis
Permusyawaratan Rakyat) pada tahun 1993 dan 1998: Wawasan Nusantara yang
merupakan wawasan nasional yang bersumber pada Pancasila dan UUD 1945 adalah
cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai diri dan lingkungannya dengan
mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa serta kesatuan wilayah dalam
menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara untuk
mencapai tujuan nasional
Ø Menurut
Kelompok Kerja Wawasan Nusantara yang dibuat di LEMHANAS 1999: Wawasan
Nusantara adalah cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai diri dan
lingkungannya yang sebaberagam dan bernilai strategis dengan mengutamakan
persatuan dan kesatuan bangsa serta kesatuan wilayah dalam menyelenggarakan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara untuk mencapai tujuan
nasional
Konsep
tentang Wawasan Nusantara merupakan pengembangan dan sintesa dari konsep-konsep
sebagai berikut
Ø Konsep
”Wawasan Benua” yang dikembangkan TNI AD RI
Ø Konsep
”Wawasan Bahari” yang dikembangkan TNI AL RI
Ø Konsep
”Wawasan Dirgantara” yang dikembagkan TNI AU RI
Ø Konsep
”Wawasan Hankamnas” yang dikembangkan untuk menjaga kekompakan ABRI
F Konsep
ini adalah hasil Seminar Hankam I tahun 1966 yang diberi nama ”Wawasan
Nusantara Bahari” di mana dijelaskan bahwa ”Wawasan Nusantara merupakan
konsepsi dalam memanfaatkan segala dorongan (motives) dan rangsangan (drives)
dalam usaha mencapai aspirasi-aspirasi bangsa dan tujuan negara Indonesia”.
Ø Pada
Raker Hankam tahun 1967 ”Wawasan Hankamnas” dijadikan sebagai ”Wawasan
Nusantara”
Ø Pada
1973 Wawasan Nusantara dijadikan Ketetapan MPR No IV/MPR/1973 tentang GBHN
dalam Bab II Huruf E.
Landasan
Wawasan Nusantara adalah
Ø Landasan
Idiil = PANCASILA
Ø Landasan
Konstitusional = UUD 1945
Unsur
dasar Konsepsi Wawasan Nusantara ada 3 yaitu (S Sumarsono, 2005, hal 85)
Ø WADAH
(CONTOUR). Wadah kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara meluputi
seluruh wilayah Indonesia yang memiliki kekayaan alam dan penduduk dengan aneka
ragam budaya.
Ø ISI
(CONTENT). Adalah aspirasi bangsa yang berkembang di masyarakat dan cita-cita
serta tujuan nasional yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945.
Ø TATA
LAKU (CONDUCT). Adalah hasil interaksi antara ”wadah” dan ”isi” yang terdiri
dari tatalaku batiniah dan lahiriah.
Asas-asas
Wawasan Nusantara adalah (S Sumarsono, 2005, hal 87)
Ø Kepentingan
yang sama
Ø Keadilan
Ø Kejujuran
Ø Solidaritas
Ø Kerjasama
Ø Kesetiaan
3.
KEDUDUKAN, FUNGSI, TUJUAN
Kedudukan
Wawasan Nusantara berada di dalam HIRARKI PARADIGMA NASIONAL sebagai berikut (S
Sumarsono, 2005, hal 87)
Ø Hirarki
I = Landasan Idiil = PANCASILA sebagai falsafah, ideologi bangsa, dasar negara
Ø Hirarki
II = Landasan Konstitusional = UUD 1945
Ø Hirarki
III = Landasan Visional = Wawasan Nusantara
Ø Hirarki
IV = Landasan Konsepsional = Ketahanan Nasional
Ø Hirarki
V = Landasan Operasional = GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara)
Fungsi
Wawasan Nusantara adalah sebagai pedoman, motivasi, dorongan, dan rambu-rambu
dalam menentukan segala kebijaksanaan, keputusan, tindakan dan perbuatan bagi
penyelenggaraan negara di tingkat pusat dan daerah maupun bagi seluruh rakyat
Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara (S Sumarsono,
2005, hal 90)
Tujuan
Wawasan Nusantara adalah mewujudkan NASIONALISME yang tinggi di segala aspek
kehidupan rakyat Indonesia yang lebih mengutamakan kepentingan nasional dari
pada kepentingan individu, kelompok, golongan, suku, atau daerah (S Sumarsono,
2005, hal 90)
4.
SIKAP & KONTRIBUSI KRISTEN: SUATU
PENGANTAR
Dikutip
dari buku Haryadi Baskoro berjudul ”Panggilan menjadi Agen-agen Transformasi”
(Yogyakarta: Pena Persada, 2009).
Alkitab
menandaskan bahwa transformasi tidak hanya bisa terjadi pada level individu, tetapi
juga masyarakat-bangsa. Perubahan tidak eksklusif pada individu. Kasih Tuhan
ditujukan juga kepada komunitas, suku, bangsa, dan keseluruhan dunia yang
berdosa ini (Santoso, 2003). Hal itu sangat jelas dari perintah Yesus: “Karena
itu pergilah, jadikanlah semua BANGSA murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama
Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala yang telah
Kuperintahkan kepadamu” (Mat 28:19-20).
Tuhan
berjanji akan “memulihkan negeri” (heal the land). Hal ini berbicara tentang
transformasi yang hendak Tuhan kerjakan dalam kehidupan sebuah masyarakat,
kota, atau bangsa. Janji Tuhan untuk memulihkan negeri itu pernah
disampaikan-Nya dengan jelas ketika menampakkan diri kepada raja Salomo: “Dan
umat-Ku, yang atasnya nama-Ku disebut, merendahkan diri, berdoa dan mencari
wajah-Ku, lalu berbalik dari jalan-jalannya yang jahat, maka Aku akan mendengar
dari sorga dan mengampuni dosa mereka, serta MEMULIHKAN NEGERI mereka” (2 Taw
7:14).
Tuhan
bukan hanya memperhatikan pribadi lepas pribadi, tetapi juga komunitas lepas
komunitas. Kota demi kota. Bangsa demi bangsa. Kerinduan Tuhan untuk
menyelamatkan sebuah komunitas (masyarakat) terlihat dalam kasus dua kota.
Pertama, kota Sodom yang jahat dan najis. Tuhan berkata kepada Abraham bahwa Ia
tidak akan menghukum (memusnahkan) kota itu jika ada minimal 10 orang benar
yang ada di kota tersebut (Kej 18:32). Meskipun pada akhirnya Sodom (dan
Gomora) dihukum karena tidak memenuhi kuota yang disyaratkan itu, Tuhan sudah
menyatakan kepedulian-Nya atas masyarakat tersebut.
Kedua,
kota (bangsa) Niniwe. Melalui nabi Yunus, Tuhan mengultimatum hukuman untuk
kota Niniwe. Demikian Firman-Nya, “Empat puluh hari lagi, maka Niniwe akan
ditunggangbalikkan!” (Yun 3:4). Apa yang dilakukan orang-orang Niniwe? Ternyata
mereka, dari raja sampai seluruh rakyatnya, percaya kepada Tuhan, bertobat, dan
berdoa puasa (Yun 3:5-9). Maka Tuhan pun tidak jadi menghukum kota itu. Alkitab
mencatat: “Ketika Tuhan melihat perbuatan mereka itu, yakni bagaimana mereka
berbalik dari tingkah lakunya yang jahat, maka MENYESAL-lah Tuhan karena
malapetaka yang telah dirancankan-Nya terhadap mereka, dan Ia pun tidak
melakukannya (Yun 3:10).
Pencabutan
hukuman itu membuat Yunus kecewa (Yun 4:1). Tapi Tuhan justru menegaskan bahwa
Ia mengasihi kota Niniwe, kata-Nya, “Bagaimana tidak Aku akan sayang kepada
Niniwe, kota yang besar itu, yang berpenduduk lebih dari 120 ribu orang, yang
semuanya tidak tahu membedakan tangan kanan dari tangan kiri, dengan ternaknya
yang banyak?” (Yun 4:11). Rupanya Yunus justru ingin Niniwe dihukum sebab
Niniwe (Asyur) adalah musuh Israel. Kebencian itu muncul karena rasa
nasionalisme Yunus. Namun, di sini justru Tuhan menyatakan cintanya akan
bangsa-bangsa.
SUMBER :
http://christiancitizenship.wordpress.com/2009/11/02/g-wawasan-nusantara/